Beato Paulus Yi Gyeong-eon

Beato Paulus Yi Gyeong-­eon (Sumber: koreanmartyrs.or.kr)

Beato Paulus Yi Gyeong-­eon (Sumber: koreanmartyrs.or.kr)

Profil Singkat

  • Tahun lahir: 1792
  • Tempat Lahir: Seoul
  • Gender: Pria
  • Posisi/Status: Pemimpin awam dari keluarga kelas bangsawan
  • Usia: 35 tahun
  • Tanggal Kemartiran: 27 Juni 1827
  • Tempat Kemartiran: Jeonju, Jeolla-do
  • Cara Kemartiran: Meninggal dalam tahanan

Paulus Yi Gyeong-un juga dipanggil dengan nama ‘Jong-hoe’ atau ‘Gyeong-byeong’, dia lahir pada tahun 1792 di Seoul pada keluarga terdidik dan ternama. Kakeknya adalah seorang hakim di Yeon-gi, Chungcheong-do. Ayahnya adalah Matius Yi Yun-ha, dia mengikuti jejak kakek dari pihak ibunya yaitu Yi Ik, yang merupakan seorang sarjana ternama saat itu. Ibunya adalah saudari dari Fransiskus Xaverius Kwon Il-sin yang merupakan salah seorang Bapak Pendiri Gereja Katolik di Korea. Karolus Yi Gyeong-do yang menjadi martir pada tahun 1802 di Seoul adalah kakaknya, dan Lutgardis Yi Sun-i yang juga menjadi martir di Jeonju pada tahun 1802 adalah kakaknya.

Paulus Yi mempelajari Katekismus dari orang tuanya ketika dia masih anak-anak dan dia menjalankannya dengan setia. Walaupun secara fisik dia lemah, namun dia memilki karakter yang penurut, kuat dan berbudi luhur. Setelah kakak-kakaknya menjadi martir ketika Penganiayaan Shinyu pada tahun 1801, keluarganya harus hidup dalam kehidupan yang sangat miskin. Dia tinggal bersama ibu dan saudari iparnya, dia menanggung kemiskinan dengan iman kepada Tuhan. Ketika dia berusia 22 tahun, dia menikah dengan seorang wanita dari keluarga kelas menengah yang memiliki sifat pemarah, namun dia mampu mentolerir dia dengan amal kasih Kristen.

Paulus Yi sering merasa sakit karena penyakit usus yang kronis, namun dia menerimanya tanpa mengeluh, dan tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang.  Dia sering membaca Alkitab dan merenungkannya secara mendalam. Dia selalu membimbing orang Katolik yang suam-suam kuku ke jalan yang benar. Dia menguatkan umat beriman dan mengabdikan dirinya untuk mewartakan Injil kepada orang yang belum beriman. Dia berusaha membantu siapapun yang lebih miskin dari dirinya sendiri. Petrus Jo Suk yang menjadi martir pada tahun 1819 membantu dia dengan kehidupan berimannya.

Paulus Yi ikut serta dalam ‘Myeongdohoe’, sebuah perkumpulan umat awam untuk mempelajari doktrin dan kitab suci. Dengan menggunakan pengetahuan dan bakatnya, dia menulis ulang atau memperbanyak buku-buku agama, menggambar ulang lukisan Yesus dan Maria, dan menyebarluaskannya kepada umat beriman.

Dia berusaha untuk menyediakan biaya yang diperlukan oleh utusan rahasia ke Beijing, serta mengabdikan dirinya untuk melatih anggota Myeongdohoe sebagai katekis. Dia berhasil mewujudkannya bagi Santo Paulus Jeong Ha-sang  untuk pergi dalam perjalanan misinya ke Beijing.

Paulus Yi selalu berharap  dalam hatinya untuk mati sebagai martir. Dia sering merenungkan Kisah Sengsara Yesus Kristus dan mengimbau umat beriman untuk siap sedia mati bagi Tuhan. Ketika Penganiayaan Jeonghae terjadi pada tahun 1827, Paulus Yi dilaporkan ke kantor pemerintahan di Jeonju karena menyebarluaskan buku-buku Katolik dan gambar Yesus dan Maria. Gubernur Jeonju mengirimkan polisi ke Seoul untuk menangkap dia. Paulus Yi ditangkap dan pertama kali dibawa ke Pusat Kepolisian, di sana dia mengakui imannya kepada Tuhan. Kemudian dia dipindahkan Jeonju berdasarkan perintah istana. Apa yang terjadi setelah itu digambarkan dengan baik dalam catatan harian yang dia tulis ketika di dalam penjara di Jeonju.

Di tengah hukuman berat, Paulus Yi harus melipatgandakan usahanya agar dia setia kepada Tuhan dan mati bagi-Nya. Satu-satunya keinginan dia adalah mengikuti kakak laki-laki dan kakak perempuannya yang telah mati bagi Tuhan. Dia mengirimkan tiga surat dari dalam penjara yang ditujukan untuk ibunya, istrinya dan keluarga dan anggota Myeongdohoe. Keputusan dia yang kuat diungkapkan dalam surat itu:

“Tubuh saya yang lemah dengan sekuat tenaga dapat bertahan dari kesakitan fisik. Jika bukan karena rahmat Tuhan dan pertolongan Bunda Suci kita, bagaimana saya dapat menahannya walaupun hanya sesaat saja? … Tuhan telah menolong saya dengan rahmat-Nya yang tak terbatas sampai dengan saat ini, sehingga saya yakin bahwa Dia tidak pernah meninggalkan saya. Jika saya pergi ke Surga lebih dulu, saya akan menyambut siapa saja yang datang ke rumah yang besar itu, dan saya akan membimbing mereka kepada Bapa kami yang universal. Di sana kita akan memuji dan menyembah Dia untuk selamanya.”

Dia mencoba yang terbaik untuk tetap teguh dan menyatakan imannya. Dengan tubuhnya yang lemah, perlakuan yang kejam melemahkan dia sampai mati. Luka-luka sekujur tubuhnya menjadi semakin dalam. Dia menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam penderitaan dan kesakitan yang mengerikan. Pada tanggal 27 Juni 1827 (4 Mei pada penanggalan Lunar), dia menyerahkan jiwanya ke dalam tangan Tuhan. Paulus Yi saat itu berusia 35 tahun.

Sumber: koreanmartyrs.or.kr

Advertisement

Posted on 5 April 2015, in Orang Kudus and tagged , , . Bookmark the permalink. 4 Comments.

Leave a Reply

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: